Artikel Wisata Lokal

Mamanda, Seni Drama Tanah Borneo

Beragam karya seni yang terdapat di negeri yang penuh dengan kemajemukan budaya seperti Indonesia membuat negara kita sangat kaya akan seni. Salah satu karya seni yang masih bisa kita nikmati adalah pementasan tradisional asal tanah Borneo, Mamanda. Lantaran memiliki keterikatan dan interaksi antara pemain dengan penonton, maka seni teater rakyat ini digadang mirip dengan lenong. Walau belakangan kisah yang disajikan mulai berkembang seputar problematika masa kini, namun tetap tidak melupakan cerita atau kisah yang berasal dari sastra lama seperti Seribu Satu Malam, Hikayat Si Miskin, Hikayat Cindra Hasan hingga syair Abdul Muluk.

Untuk sejarah, Mamanda merupakan kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897. Sebelum Mamanda dikenal, teater di Kalimantan Selatan bernama Komedi Indra Bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian ini hingga saat ini lebih dikenal dengan sebutan Mamanda. Kata Mamanda sendiri sebenarnya tidak memiliki arti, tetapi ada dua cerita yang mencoba menjelaskan arti mandala. Cerita pertama, mamanda berasal dari kata “panda” yang artinya “persis” atau “mirip”. Dalam bahasa Banjar, apabila sebuah kata membentuk kata kerja maka ditambah dengan awalan “ma”. “Pinda” mendapat awalah “ma” maka menjadi “maminda” (huruf “p” melebur atau hilang). Di sejumlah pelosok di Hulu Sungai Selatan dan Kalimantan Selatan, mamanda sering disebut orang dengan kata “manda” saja. “Manda” (urang manda)= urang balakun, diberi awalan “ma” untuk membentuk kata kerja sehingga menjadi “mamanda”

Cerita kedua, mamanda kemungkinan berasal dari kata “mamakda” yang artinya paman atau mamarina. Dalam dialognya, seorang raja dalam peran mamanda sering menyanyikan kepada Mangkubumi dengan kalimat berikut,” Bagaimana Mamanda Wajir ?” atau “ Bagaimana pendapat Pamanda Mangkubumi?”. Penonton lalu menamakan pertunjukan tersebut dengan sebutan Mamanda. Dalam dialek masyarakat Hulu Sungai Selatan khususnya di Kandangan diucapkan pula dengan Bamanda.

Dalam segi bentuk pertunjukan, Mamanda pun terbagi menjadi beberapa aliran yaitu mamanda Batang Banyu atau Periuk dan Mamanda Tubau. Baik kata periuk maupun kata Tubau merujuk pada asal yang sama yaitu nama desa. Pementasan tradisional ini awalnya bisa kita jumpai selepas Isya karena menjadi salah satu hiburan rakyat. Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman kalian bisa melihat mamanda pada hari – hari besar, malam sebelum pesta pernikahan dan acara hajatan lainnya.

Artikel Terkait